[FF] H (highskoolers) 2 – TWO

Title: H (highskoolers) 2
Genre: Teen Romance
Rating: PG
Length: Mini-series
Cast(s): Heo Gayoon [4MINUTE], Lee Gikwang [BEAST], Yoon Doojoon [BEAST], Choi Sooyoung [SNSD].
Summary: Heo Gayoon tidak terbiasa berdiri dengan satu kaki, tak akan pernah sebelum ia sentuh sendiri, kepahitan yang secepatnya ingin ia hindari.

highskoolers-2.jpg.jpeg

.

.

.

***

TWO

Ia tiba belakangan dengan beberapa alasan, utamanya karena memang malas dan tak ada niat untuk ikut, makanya ketika kaki melangkah memasuki mini bus, ia tidak tahu darimana kekacauan ini berasal, konklusi dadakan yang mampu ditarik Heo Gayoon dari hasil mengamati adalah: mereka berebut teman duduk.

Dimulai dari Seungri (playboy-nya klub sepakbola) ingin duduk bersama Jieun, tapi Jieun sudah nyaman duduk bersama sobatnya Sunhwa. Mereka mengusir Seungri kemudian terdengar cekakak-kikik heboh—pastinya duo itu bergosip seperti biasa. Di sebelah bangku Jieun-Sunhwa, Yoseob mengincar tempat duduk di sebelah Leo. Namun Woohyun melarang keras dengan alasan bilamana Leo tertidur di pundak Yoseob, kakak kelas mungilnya itu bisa remuk. Selain Woohyun sebetulnya, Minho juga ingin duduk sebelahan dengan Yoseob (tak lain kakak kelas yang dikaguminya). Kebanyakan yang rusuh adalah para laki-laki, alasan klisenya (mungkin) karena ingin duduk dengan anak perempuan, Seungri dan Jonghyun contoh salah duanya. Dari hemat Gayoon sendiri atas alasan apapun, mereka semua terlihat bodoh.

Kepalanya sudah cukup kebal menghadapi rush hour (meski ini hari libur honestly) selama perjalanan kemari tetapi, menerima hiruk pikuk dalam bus sebagai salam ganti kedatangannya sama sekali bukan kesepakatan bagus.

Cukup jauh dari keributan itu ada pula pasangan Key dan Nicole yang duduk paling depan dan asyik selca berdua, di belakangnya Luhan dan Xiumin berbagi camilan manis. Tak kalah tentram dengan pasangan-pasangan tadi, dua pemimpin dari klub masing-masing, Doojoon dan Seungho sudah damai ke alam mimpi, mungkin karena mereka yang paling lelah mengatur anak-anaknya, lebih baik tidur dan melupakan saja hingga tiba di tujuan nanti.

“Gayoon-ah!” bola mata Gayoon bergerak, lambaian tangan Gikwang mencolok dan norak sekali, menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya plus segaris senyum di mata akibat seolah kelopaknya menutup. Strategis lima bangku dari jajaran kanan.

Jika Gayoon boleh memilih, ia ingin melihat Gikwang menyesali kekonyolannya dengan membiarkan laki-laki itu duduk sendiri, jadi Gayoon menolaknya dan berencana duduk di bangku paling belakang saja, bersama Mir dan Cheondung (ditambah ia sedikit kesal karena tadi pagi  Gikwang tak menunggunya di depan rumah seperti biasa, cih!).

Belum sempat ia ke tujuan, pergelangan kecilnya ditahan oleh satu tangan, rupanya Gayoon melupakan bangku jajaran depan di sebelah Key dan Nicole, ada Choi Sooyoung menawarkan perkenalan.

“Di sini saja,” oke, sekarang bagaimana? Kekasih dari seseorang yang kau sukai beramah-tamah padamu? Apa dengan tega Gayoon akan menolaknya? Ia reliabel, tak etis menjadi antagonis di ceritanya sendiri. Dibayar kontan oleh perut mulas ketika pura-pura tersanjung akhirnya ia mengiyakan.

Kapan semua ini berakhir.

***

Penginapan itu terlampau mewah, kontra dengan postulat awalnya bahwa Choi Sooyoung adalah tipikal gadis apa adanya—tidak sama sekali. Setting mengapa klub sepakbola mau menanggung biaya transport dan penginapan tak lain adalah karena ini. Penginapannya bernuansa Japanish, futuristiknya mirip onsen, hanya saja lingkungan pantainya tak cukup mendukung pemandian di air panas, namun tetap saja … hal ini membuka pikiran Gayoon lebar-lebar, ia mulai paham mengapa gadis Choi itu diidolakan selama tahun pertamanya belum punya pacar; kecantikannya, keenceran otaknya, kemurahan hatinya, kekayaannya.

Cih. Benci mengakuinya tapi Gayoon kalah perihal tiga poin di atas. Tiga? Ya. Karena poin pertama tentu ia lebih cantik. Ia, ‘kan, tidak sekurus Sooyoung, setidaknya. Tapi, hei! Apapula ini dirinya malah membandingkan sendiri hal-hal tak penting itu!

Seturunnya dari mini bus, mulut mayoritas anak-anak itu menganga, termasuk Gayoon. Dari samping mereka, terhenti sebuah luxury car, kaca jendela hitam diturunkan hingga menampak seraut wajah pria tua, dengan alis tak bersahabat ia peringatkan, “Jangan macam-macam pada putriku, kalian—dan terutama kau, Yoon Doojoon.”

Ah. Tuan Besar Choi?

Gayoon memamerkan senyum nyiyir saja. Tak tertarik mengurusi masalah dua pria itu, tidak seperti para anggota bar-bar klub sepakbola yang malah menertawai kesialan Doojoon, dan gurauan mereka melantun kasar implisit hubunganmu belum direstui, bersabarlah, Kapten.

 “Pantai, pantai! Wuhuuu!” dimanapun ada anak laki-laki, merea selalu bertindak kampungan! Gayoon memasang masker, siap hati dan wajah menerima lirikan tak setuju para pengunjung pantai dan tawa-tawa meledek mereka karena tindak kekanakan para siswa Seowon. Mereka bukan musafir yang mengidap dehidrasi di padang sahara, bisa tidak sih menahan diri untuk tidak melompat ke air begitu melihat? Overracting!

“Yang kalian suka dari pantai cuma bikini, tidak perlu heboh begitu! Malu-maluin!” mewakili para anak perempuan, Jieun mengomel, belum satu menit mereka sampai tapi sudah terjadi cekcok. Seungri mencuri kesempatan bertanya di antara kerutan dahi Jieun apakah para perempuan bawa baju renang.

“Kita kemari untuk berlatih softball, dan aku yakin seratus persen klub sepakbola pun tak punya agenda renang dalam trainingnya.” Lengan Gayoon bersedekap, kata-katanya terdengar layaknya tusukan telak membocori pikiran-pikiran kotor para lelaki solo player squad hingga menganak sungai, hanyut lalu pupus.

“Heo Gayoon, kau tidak menyenangkan!” semprot Mir. Dikoori oleh Jonghyun dan laki-laki satu kroninya.

Senyum Gayoon mati tidak peduli.

***

Satu ruangan penuh digarap untuk perempuan, kamar yang cukup besar karena hanya diisi oleh lima buah futon: Gayoon, Jieun, Sunhwa, Nicole, dan Sooyoung. Sementara untuk laki-laki, tempat tidur dibagi menjadi dua ruangan, kamar satu diisi oleh para siswa kelas dua—karena jumlah hadir kelas dua terhitung paling banyak. Sedangkan kamar dua diisi oleh siswa-siswa kelas tiga dicampur kelas satu.

Anak-anak perempuan menyiapkan futon dan membereskan barang-barang sementara para anak lelaki memulai pemanasan guna latihan pertama. Karena hanya ada lima tenaga di dalam penginapan, mereka membagi tugas: Gayoon membereskan kamar satu, Sooyoung di kamar dua, Nicole di kamar perempuan, sisanya Jieun dan Sunhwa kebagian memasak makan malam di dapur. Fiuh, Gayoon meniup poni. Dapat dibayangkan bila tidak ada anak perempuan yang ikut, acara ini pasti sudah kacau karena tak ada yang mau masak atau berbenah kamar (tidak ada yang mau, sebab yang bisa pasti ada tapi malas melakukannya). Pada akhirnya mereka akan membiarkan seluruh ruangan menyerupai kapal karam dan mendeliveri makanan junk food karena tak punya pilihan lain, buruk sekali! Untuk ke sekian kalinya, Gayoon menyumpah bahwa laki-laki sungguh merepotkan!

Futon memang telah disediakan dalam tiap kamar, itu penjelasan yang ia dapat dari Sooyoung. Makanya Gayoon tak menolak membantu karena pada dasarnya melontar futon jauh lebih mudah dibanding bekerja di dapur.

Pada amparan kasur lipat kelimanya, terdengar langkah-langkah kaki mendekat. Suara tapaknya mengerikkan lantai kayu itu. Dari sampingnya, muncul bayangan postur tubuh laki-laki, Lee Gikwang.

Incaran laki-laki itu adalah tasnya, kemudian ia korek dan mengambil satu kaus dan celana pendek. Gayoon menggerutu menanggapinya, meski tidak diminta—spontan omelan darah hawa. “Kalau kau mengambil barangmu seperti itu, nanti isinya jadi berantakan, dan semakin sulit kalau mau mengambil barang yang lain.” Ia bilang, tak menatap Gikwang sebab tangannya masih bekerja merapikan pinggiran futon yang tergulung-gulung.

Gikwang menyahut, terkesan tak peduli dari nada suaranya yang lurus. “Oke.”

‘Oke’-mu itu maksudnya apa? Gayoon berdecak sebal. Ia bangun dari posisinya, lantas membuat jarak beberapa jengkal dari futon sebelumnya, untuk ia lemparkan futon ke enam di kamar itu.

Tak disangka, Gikwang mengkopi tindakannya—membantunya menyiapkan futon ke tujuh.

Sedetik seselesainya pekerjaan mereka, dua tangan masing-masing insan itu berhenti. Gayoon merasa ia harus pergi, tapi dengan awkwardnya ia malah menunggu Gikwang mengatakan sesuatu selain oke yang tadi. Dia … tidak marah karena di bus Gayoon tak mau duduk sebelahan dengannya, ‘kan? Atau jangan-jangan … memang karena itu?

“Kau tidak marah, ‘kan?”

“Spekulasi dari mana pula itu.” Ujar Gikwang—diselingi senyum manis. Baju yang tadi diambilnya ia letakknya di sebelah kantung, belum disentuh lagi. Laki-laki itu tergoda untuk membantingkan tubuh di atas futon daripada mengganti setelan latihan seperti rencana awalnya datang kemari. “Aku capek, datang kemari tak ada waktu berbaring sejenak, malah langsung ditarget lari kelilling pantai. Makanya aku cari-cari alasan supaya bisa menghindar, aku bilang saja mau ganti baju sebentar ….”

“Itu sih resiko seorang atlet, tak pantas dikeluhkan.” Balas Gayoon, makin tak ingin meninggalkan ruangan serta Gikwang di dalamnya, entah kenapa. Kini ia berselonjor kaki di lantai kayu itu, di sebelah pembaringan Gikwang. Dinginnya nyaman menempeli kulit. Ia mengamati detik-detik terpejamnya sepasang netra itu terbawa lelap. “Gikwang-ah,” panggilnya.

Tak ada respon. Tetap begitu sampai panggilan yang ketiga. Mengira Gikwang memang terlelap, ia dilema antara dua pilihan membiarkannya tertidur saja karena kelelahan atau dengan tega membangunkannya dan menyuruhnya kembali ke lapangan.

“Gikwang-ah …, kalau mau tidur ganti baju dulu, bau keringat tahu, berbakteri juga bajumu itu,” ketika panggilan keempat diumbar di tengah hening bermenit-menit kemudian, gatalnya jemari Gayoon tak tertahankan lagi. Ujung telunjuknya menyentuh leher berkeringat Gikwang, tak ada alasan—ia memang ingin melakukannya dari dulu—menyentuh leher seksi itu, jangan tanya lagi. Kelemahan perempuan memang dalam hal-hal remeh seperti ini.

Setelah itu, setelah Gayoon mencabut sentuhannya dari tekstur yang licin oleh peluh itu, tangan Gikwang dari seberang bergerak, menangkup tangannya. Kelopak mata Gikwang terbuka, dibalas sorot ketidakmengertian Gayoon.

Namun seiring piringan itu diputar, film itu berlanjut, adegan berganti di kepalanya, Gayoon mulai memahami tindak-tanduk aneh Gikwang. Situasi mulai tak wajar. Bukan hal sulit bagi Gikwang, memancing tangannya jatuh dan berakhir dengan jeratan penuh di atas futon. Kejadiannya berlalu cepat, masih sedetik lalu Gayoon memikirkan untuk pergi namun sekarang sudah terlambat. Gikwang mengurung tubuhnya di antara dua lengan berbisep-bisep, dan segesit tanpa cela menarik selimut menutupi punggungnya, yang artinya menutupi Gayoon juga—tubuh mereka berdua.

“Mau apa kau?” jelas-jelas perilaku ini tak mencerminkan sepasang teman. Mereka—teman-teman tak seharusnya melakukan hal seperti ini.

Tetapi, Gikwang berinisiatif melakukannya. Mencondongkan wajahnya, memprediksi pertemuan sudut bibir mereka, yang menurut Gayoon termasuk dalam indikator berusaha mencium. Menciumnya.

Sebelum itu terjadi Gayoon sigap membelokkan wajah Gikwang ke arah lain dengan dua jarinya, di timing yang tepat sebelum kejadian tadi sempat terealisasi. “Kau tahu apa implikasi darimu kalau berhasil melakukan itu, ‘kan?”

“Aku tahu.” Jawab Gikwang, berkilah lagi wajah itu ke hadapannya. Ujung-ujung hidung mereka bersentuhan. Napas Gikwang panas, menyebabkan Gayoon bersusah diri menenangkan jantungnya.

“Lalu kau akan tetap melakukannya? Apa untungnya bagimu dan bagiku? Kita berdua sama-sama ada di situasi yang rumit. Fokus saja pada pertandingan musim panasmu. Aku juga akan fokus pada apa yang sedang ku kejar sekarang—”

“Mengejar apa? Yoon Doojoon?”

Gayoon tak menyetujui tuntutan berasumsi tak jelas dari Gikwang itu, terwujud melalui argumen keras yang ia lontar kemudian. “Berlandaskan apa kau mengira? Apa aku terlihat seperti seorang gadis yang hanya mementingkan masalah percintaan, begitu? Mimpiku tidak sedangkal itu.”

“Apa kau harus membahas itu semua sekarang? Aku hanya ingin menciummu.” Gayoon menganga, akalnya tak masuk mendengar pengakuan sinting Gikwang mengenai usaha mencium bibirnya, yang ternyata benar.

Sehabis separuh isi napasnya hilang percuma, Gayoon berhasil mengendalikan wajahnya tetap di area abu-abu. “Lalu setelah itu, apa? Kau akan memintaku jadi pacarmu? Dengar, Gikwang-ah, aku berterimakasih sekali kau menghargaiku sebagai perempuan, tapi aku … aku tidak menyukaimu lebih dari teman.”

Kejam.

“Melihat reaksimu yang tidak begitu terkejut. Aku jadi punya pertanyaan … sejak kapan kau tahu?”

“Kau menunjukkannya terlalu jelas, terlalu sering,” ucap Gayoon, ia jawab cepat karena ingin wajah Gikwang segera menjauh darinya—dengan jarak sedekat ini ia bisa apa jika Gikwang benar-benar menyerangnya …, “prediksiku ternyata tepat, kau menyukaiku, ‘kan?”

Gayoon mengakuinya tetapi itu salah Gikwang yang membuatnya mengatakan. Lagipula, ia sering mendengar dari orang-orang kolot bahwa beberapa kebenaran memang selalu memperburuk hubungan. Gayoon menyiapkan diri untuk itu, tapi bukan berarti ia tanggap bila sekaranglah waktunya.

“Ah, bodohnya aku.” Hanya itu, dan mungkin kentara mimik sakit hati di sana.

Lalu, kedua mulut mereka diam. Gayoon menatap balik sorot kehausan itu, menanggung sendiri organ pemompa oksigennya yang tak tenang—yang laki-laki itu tidak tahu. Bertolakbelakang dengan visual dingin yang ia tampilkan.

“Jadi, bisa minggir?”

“Baiklah …,” perlahan, tenda selimut yang menutupi tubuh mereka dari pandangan luar Gikwang buka, bersama tubuhnya yang lantas memposisikan duduk, begitupula Gayoon. “aku mengerti, maaf menyulitkanmu.”

“Karena kita teman, aku memaafkanmu. Pesanku satu, kalau kau menyesal … jangan lakukan lagi, oke? Kadang-kadang tatapanmu yang seakan ingin memangsaku di waktu-waktu tertentu, membuatku sedikit takut.” Akunya, seraya menyisir rambut cokelat lurusnya dengan jari-jari. Ia mendentingkan nama laki-laki itu sekali lagi, lebih kencang, “Lee Gikwang?”

“Hm.”

Lee Gikwang memunggunginya, di sekelibat canggung tak menyenangkan terpakai mengisi kekosongan, begitulah caranya lari dari Heo Gayoon, ia tak pernah—sebab Gikwang adalah Gikwang dengan sifatnya yang tak gampang digerus atau terinjak—tak pernah Gayoon mendengarnya bilang iya. Artinya, ia tak menyesali perbuatannya.

***

Ruang tengah kini remang oleh neon-neon yang sengaja dimatikan, tidak semuanya. Setelah menghabiskan makan malam seolah tak ada hari esok, para penghuni itu duduk berkumpul di satu ruangan. Jieun dan Sunhwa tengah menjerang bergelas-gelas cokelat panas di dapur. Sementara sisanya, mulai membeberkan beberapa ide kegiatan menjelang larut malam.

Kim Jonghyun mengemukakan pemikirannya, ia bilang acara menginap tak akan seru tanpa ada permainan truth or dare.

“Tidak ada permainan apapun, kalian telah melalui latihan berat hari ini jadi setelah makan malam, istirahatlah dengan baik. Masih menumpuk agenda training yang menunggu untuk diselesaikan besok.” Adalah bentuk ketidaksetujuan Ketua Yang Seungho, anak-anak klub softball merengut, menilai ketua mereka tak adil. Padahal acara-acara seperti ini hanya beberapa kali setahun atau bahkan hanya sekali setahun, mana mungkin dilewatkan tanpa bersenang-senang.

“Kalau Kapten, bagaimana?”

Pertanyaan menggugah harapan pada satu lagi yang berwenang, Doojoon menjawab, “Tak masalah.” Anggota klub sepakbola pun bersorak kegirangan. Dari sini terlihat perbedaan besar dua ketua itu, Seungho yang kaku dan disiplin atau Doojoon yang luwes—“Tapi jangan mengeluh kalau besok kalian tidak bisa mengejar target seratus kali push up.”—tapi absolut.

Glek.

“Ya sudah, yang mau tidur duluan langsung saja, yang mau menghabiskan malam di sini juga tidak apa-apa. Kedua pilihan itu tentu ada baik buruknya. Jadi,” Jonghyun selaku penanya menengahi, merangkum putusan Seungho dan Doojoon. “bagaimana?”

Sebagai yang pertama, Leo memungut sisa-sisa kantuk, ia beranjak duluan dari sana setelah menyelesaikan segelas cokelat hangat—pergi ke kamar. Beberapa anak laki-laki lain mengekori, Luhan, dan Xiumin, Cheondung. Gikwang yang juga pada dasarnya sedang badmood ingin langsung tidur saja—malas bersitatap dengan Gayoon setelah advicenya ditolak mentah-mentah tadi—oh, tidak, bahkan bila ditelaah lagi, ia belum menyatakan perasaannya tapi langsung ditolak! Fakta memang selalu lebih keji. Sialnya Yoseob menarik punggung kaus Gikwang hingga laki-laki itu nyaris terbabat lantai.

“Tidak seru kalau kau langsung tidur begitu saja. Lewatkanlah malam di sini beberapa menit lagi! Atau kau … sedang menghindar?” celoteh dan tuduh Yoseob dalam satu kali ucapan, Gikwang menampik tangan yang memegang kausnya itu lalu kembali duduk dengan ogah, tak menjawab.

Permainan dimulai. Seungho tidak pergi ke kamar untuk mengawasi mereka kalau-kalau anak buahnya melakukan hal aneh apalagi ada perempuan (yang jumlahnya lebih sedikit)—sama halnya dengan Doojoon. Padahal melalui benak Gikwang, Yoon Doojoon tidak di sana sekadar mengawasi saja—laki-laki itu lebih memerhatikan pacarnya dan Choi Minho yang duduk bersebelahan di seberang.

Bergeser sedikit titik fokus dari Sooyoung, ada Gayoon. Mereka beradu pandang. Ia duluan yang menarik diri, menolak acuh walau nyatanya sulit.

Putaran botol pertama oleh Jonghyun berbuah dare untuk Yoseob. Yoseob memparodikan tata cara gantung diri sesuai aturan di gunung Fuji. Anak-anak terbahak menyaksikan—terutama ekspresi emas Yoseob seolah-olah orang sekarat tercekik tali. Putaran kedua, Nicole memilih truth. Mendapat fakta sesungguhnya lady fashionista Seowon mencuci bajunya seminggu sekali. Ketiga, moncong botol mengarah pada Sooyoung, “Truth.” Katanya.

Bak mendapat kesempatan dalam kuis, super exited Mir angkat tangan, “Di kamar kami, kamar dua, di pojok bawah dinding dekat dengan pintu ada tulisan bunyinya begini: Minho love Sooyoung forever, itu maksudnya apa?”

Mari amati: yang melotot adalah Doojoon, yang menguap adalah Minho, yang tertawa adalah Sooyoung. “Itu tulisan lama. Karena penginapan ini milik kelaurgaku, sewaktu kecil aku dan Minho sering kemari. Kalau maksud tulisan itu sendiri … kami berdua masih kecil waktu itu, aku pribadi tidak mengerti. Coba tanya Minho, dia yang menulisnya.”

“Itu bahasa Inggris, bodoh.” Semprot Minho pada Mir. “Artinya Minho cinta Sooyoung selamanya.”

Mir melempar botol, “Aku tahu itu, tolol. Berarti sampai sekarang kau masih ada perasaan, dong?”

“Selama janur kuning belum melengkung.” Minho terkekeh meledek, balas memelototi Doojoon di depannya. Bila ada rak sepatu, mungkin mereka berdua sudah saling serang brutal hingga atap runtuh.

“Sudah, ah. Sekarang giliranku.” Diambil botol lalu diputarnya—satu, dua, tiga! Mengarah pada seseorang di sebelahnya, Gayoon.

Gikwang deadpanned. Sooyoung pada Gayoon? Situasi macam apa ini! Gayoon pasti memilih truth. Seseorang tolong ambil alih pertanyaannya! “Aku!” Woohyun angkat tangan. “Aku punya pertanyaan untuk Gayoon-sunbae!”

Menyadari Gayoon terkesiap, entah mengapa Gikwang tak nyaman di tempatnya. Masalahnya … Woohyun dan Mir itu sebelas dua tujuh, sama-sama tidak beres! “Maaf kalau aku kurang sopan, tapi aku penasaran. Tadi siang sewaktu aku mau menyusul Gikwang-hyung ke kamar, aku melihat Sunbae ke luar dari kamar itu, dan ketika ku tengok ke dalam, ternyata ada Gikwang-hyung. Memang kalian habis ngapain?”

Mulut anak-anak terbuka—apakah itu bersiul atau sekedar ‘wow’—kecuali Doojoon yang kemudian menuntut konfirmasi, “Wah, Lee Gikwang. Aku paham sekarang. Kau ke kamar untuk menghindari latihan?!”

“Itu—aku membereskan kamar kalian, dan Gikwang membantuku.” Gayoon bicara fakta, namun sesuatu terasa retak di dalam Gikwang.

“Bukan cuma itu.” Sela Gikwang, Gayoon memberinya peringatan lewat mata, sayang ia balas dengan raut kecewa. “Sebetulnya … tadi di kamar, aku berusaha menciumnya tapi dia menolakku.”

***

.

.

.

A/N: Ku tau banyak koq yang baca ff ini, Mungkin ga ninggalin jejak karena takut aku gigit 😦 padahalmah enggak. Gapapa, komen aja biar bisa kenalan /jiah/

Bonus

real representative of gikwang-gayoon-doojoon relationship

cy1fbhduqaah_2e

/kwang’s face when gayoon chooses doojoon to date with instead of him kekeke~/

10 Comments Add yours

  1. Amelinda Amda berkata:

    Lucu wktu mereka” main truth or dare ><

    Suka

  2. Amelinda Amda berkata:

    Lucu wktu mereka” main truth or dare ><
    komenanku yg prtama trpotong ;(

    Suka

  3. Amelinda Amda berkata:

    Lucu wktu mereka” main truth or dare
    doojoonnya cmburu sdngkan minho dan sooyoungnya malah biasa” aja
    Itu quotes “selama janur kuning belum melengkung” diambil dri film uang panai’ ya kak? Kerasa familiar sih dri wktu kebaca bgian itu~

    Ditunggu next part kak dan bnyakin doojoon-sooyoung atau minho-sooyoung momentnya kakk fanii ><

    Suka

    1. Yang Yojeong berkata:

      Hai amel kamu baca ini juga yaaa ternyata wkwkwk. Siplah meski ini Gikwang/gayoon tapi pasti Doojoon/sooyoung nyempil dikit2

      Suka

  4. sychacha berkata:

    Gikwang kamu kok kasihan sih?nggak di variety show,nggak di fanfict,masih aja ditolak gayoon. Yang sabar ya~
    Kalo menurutku sih,chapter ini nano-nano banget. Kasihan sama Gikwang,ketawa gara-gara doojoon-sooyoung-minho,oh iya jangan lupa papa Choi yang bikin cameo, hahhaha

    Suka

  5. iyanavhie berkata:

    Faniii, maapkeun aku baru bisa komen. Padaha kemaren-kemaren di part 1 itu aku udah komen tapi gagal gara-gara lupa password -_-

    Kyaah! Aku suka pairing Gikwang-Gayoon gara-gara acara mereka Instyle (atau apa sih judulnya aku lupa). Mereka cute banget lah dan cocok walaupun Gikwangnya maksa banget pengen dipanggil Oppa, hahaha.

    Suka

  6. iyanavhie berkata:

    Ps: ini aku B2utyana.

    Suka

    1. Yang Yojeong berkata:

      Oh namamu Iyana toh? Okedeh jangan lupa password lagi yaw 😅

      Suka

      1. iyanavhie berkata:

        Iyaaaa 😹😹

        Suka

  7. Cicamica berkata:

    Ah kasian si gikwang walaupun aku ketawa bacanya, asli lucu banget si doojoon sooyoung sama minho cinta segitiga detected yang paling konyol deh pokoknya

    Suka

Tinggalkan komentar